Persaingan usaha kuliner memang sangat ketat, terlebih
dengan munculnya franchise baru yang mulai menjamur di kota besar. Sebagai
strategi untuk menarik dan menjaga loyalitas pelanggan, produsen akan
mempertahankan citra produknya dengan tetap menyajikan kualitas makanan yang
baik. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang pengangkatan isu kehalalan
restoran sedang hangat diperbincangkan, masyarakat mulai menyoroti label halal
yang belum tercantum pada produk makanan yang disajikan oleh restoran. Munculnya
isu tersebut bukan tanpa dasar melainkan adanya keganjilan pada rasa masakan.
Menurut penuturan Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Ph.D, dosen
akuntansi di salah satu Universitas, menceritakan pengalaman kerabatnya yang
hendak membeli franchise restoran “X”. Menurut email yang ditulisnya kepada
media, kerabatnya bercerita bahwa dalam mengolah menu makanan di restoran
tersebut, pemilik franchise diwajibkan memakai angciu dan minyak babi dalam
beberapa masakan. Label halal pada suatu produk makanan memang sangat disoroti
masyarakat Indonesia mengingat kultur dan mayoritas penduduk negara Indonesia
adalah muslim.
Sedangkan penuturan
manajer restoran “X” menjelaskan bahwa bahan dasar yang digunakan oleh restoran
sudah dipastikan halal. Pemeriksaan pada restoran, suplier, hingga
karyawan, menurutnya sama sekali tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan. Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menegaskan
restoran “X” belum memiliki sertifikat halal. “LPPOM MUI belum pernah melakukan
pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan sertifikat halal
untuk restoran tersebut,” demikian ditegaskan dalam situs www.halalmui.org,
Kamis (1/8/2013). Dengan
demikian, “MUI tidak menjamin kehalalan makanan/minuman yang disajikan oleh
restoran tersebut”, sebagaimana ditulis oleh halalmui.org. LPPOM MUI
perlu menjelaskan hal ini agar masyarakat mengetahui halal tidaknya makanan dan
minuman yang disajikan restoran tersebut.
Berdasarkan
wacana diatas saya mulai dari sudut pandang konsumen, dalam hal ini konsumen bersikap
proaktif dan kritis. Mereka mampu menyoroti hal-hal yang dinilai tidak pas
dalam kultur maupun ajaran agama. Masyarakat konsumen sangat memperhatikan
label halal pada semua produk makanan yang akan dikonsumsinya. Sikap ini sangat
baik diterapkan untuk mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama
dalam hal mengkonsumi makanan.
Namun
dalam perspektif produsen dalam hal ini pihak restoran, perlu adanya inisiatif dalam
berbisnis untuk mencantumkan label halal dengan mengurus ijin penerbitan
sertifikat halal pada lembaga terkait. Hal ini dimaksudkan menjaga etika bisnis
dengan konsumen sehingga mampu meyakinkan konsumen bahwa produk makanan yang
disajikan adalah makanan halal yang sudah teruji kehalalannya. Keuntungan yang
lain juga dapat menarik konsumen yang masyarakat beragama muslim sehingga
merasa nyaman dan aman dalam mengkonsumi produk makanan restoran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar