Assalamu'alaikum wr.wb.

Sabtu, 16 November 2013

Isu Kehalalan Restoran "X"


Persaingan usaha kuliner memang sangat ketat, terlebih dengan munculnya franchise baru yang mulai menjamur di kota besar. Sebagai strategi untuk menarik dan menjaga loyalitas pelanggan, produsen akan mempertahankan citra produknya dengan tetap menyajikan kualitas makanan yang baik. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang pengangkatan isu kehalalan restoran sedang hangat diperbincangkan, masyarakat mulai menyoroti label halal yang belum tercantum pada produk makanan yang disajikan oleh restoran. Munculnya isu tersebut bukan tanpa dasar melainkan adanya keganjilan pada rasa masakan.
           Menurut penuturan Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Ph.D, dosen akuntansi di salah satu Universitas, menceritakan pengalaman kerabatnya yang hendak membeli franchise restoran “X”. Menurut email yang ditulisnya kepada media, kerabatnya bercerita bahwa dalam mengolah menu makanan di restoran tersebut, pemilik franchise diwajibkan memakai angciu dan minyak babi dalam beberapa masakan. Label halal pada suatu produk makanan memang sangat disoroti masyarakat Indonesia mengingat kultur dan mayoritas penduduk negara Indonesia adalah muslim.
            Sedangkan penuturan manajer restoran “X” menjelaskan bahwa bahan dasar yang digunakan oleh restoran sudah dipastikan halal. Pemeriksaan pada restoran, suplier, hingga karyawan, menurutnya sama sekali tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menegaskan restoran “X” belum memiliki sertifikat halal. “LPPOM MUI belum pernah melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan sertifikat halal untuk restoran tersebut,” demikian ditegaskan dalam situs www.halalmui.org, Kamis (1/8/2013). Dengan demikian, “MUI tidak menjamin kehalalan makanan/minuman yang disajikan oleh restoran tersebut”, sebagaimana ditulis oleh halalmui.org. LPPOM MUI perlu menjelaskan hal ini agar masyarakat mengetahui halal tidaknya makanan dan minuman yang disajikan restoran tersebut. 

         Berdasarkan wacana diatas saya mulai dari sudut pandang konsumen, dalam hal ini konsumen bersikap proaktif dan kritis. Mereka mampu menyoroti hal-hal yang dinilai tidak pas dalam kultur maupun ajaran agama. Masyarakat konsumen sangat memperhatikan label halal pada semua produk makanan yang akan dikonsumsinya. Sikap ini sangat baik diterapkan untuk mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama dalam hal mengkonsumi makanan.
            Namun dalam perspektif produsen dalam hal ini pihak restoran, perlu adanya inisiatif dalam berbisnis untuk mencantumkan label halal dengan mengurus ijin penerbitan sertifikat halal pada lembaga terkait. Hal ini dimaksudkan menjaga etika bisnis dengan konsumen sehingga mampu meyakinkan konsumen bahwa produk makanan yang disajikan adalah makanan halal yang sudah teruji kehalalannya. Keuntungan yang lain juga dapat menarik konsumen yang masyarakat beragama muslim sehingga merasa nyaman dan aman dalam mengkonsumi produk makanan restoran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar